Monday, April 18, 2016

REVIEW FILM CITY OF EMBER



Judul          :  City Of Ember
Tema          :  Kemanusiaan
Durasi        :  95 menit 
Genre        :  Adventure, Fantasi
Pemain      :  Bill Murray, Saoirse Ronan, Harry Treadaway, Mackenzie Crook
Sutradara  :  Gil Kenan
Penulis       :  Caroline Thompson, Jeanne Duprau (Novel)


Review

City of Ember (2008) merupakan film fiksi-ilmiah keluarga yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Jeanne Duprau. Film arahan Gil Kenan ini dibintangi oleh aktor-aktris muda pendatang baru yakni, Harry Treadaway serta Saoirse Ronan dengan didampingi aktor-aktor senior seperti Bill Murray dan Tim Robbins.



Alkisah bumi di ambang kehancuran maka untuk menyelamatkan umat manusia dibangunlah sebuah kota bernama Ember, jauh di bawah permukaan tanah. Para petinggi sepakat untuk mengisisolasi manusia selama 200 tahun lamanya untuk memastikan bumi telah pulih seperti sediakala. Secara turun temurun para pemimpin kota Ember diwasiati sebuah kotak berisi informasi tentang rahasia Ember dan asal-usul manusia. Dua ratus tahun telah lewat dan kotak wasiat telah dilupakan oleh umat manusia di Ember. Sumber energi Kota Ember sangat tergantung dari sebuah generator tua yang kondisinya kini telah rusak dan seluruh kota terancam gelap-gulita. Di tengah suasana serba sulit, Lina Mayfleet, seorang remaja menemukan kotak wasiat milik leluhurnya, bersama rekannya Doon Harrow, ia berusaha mengungkap jalan rahasia keluar Kota Ember.

Satu hal yang tak diduga adalah plot filmnya yang bertempo cepat dengan durasi waktu cerita yang relatif singkat. Plot filmnya dimulai pada suatu masa dimana kota Ember berada di ambang kegelapan abadi. Kita tidak melihat penduduk kota Ember yang riang gembira (normal) dalam kesehariannya namun sebaliknya senantiasa gelisah dan cemas setiap kali listrik padam lebih lama dari biasanya. Sebuah pilihan plot yang cukup efektif mengingat fokus penekanan cerita adalah bagaimana Lina dan Doon mencari jalan keluar kota Ember. Cuma itu saja! Hal ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan seputar informasi latar belakang peristiwa serta para karakternya. Jika memang stok makanan menipis tak jelas bagaimana para penduduk kota menganstisipasinya. Lantas selama ini mereka makan apa? Untuk apa Pak Walikota mencuri persediaan makanan jika nantinya seluruh kota gelap gulita? Mengapa tidak mencari jalan keluar saja lebih awal? Tak jelas bagaimana Lina dan adiknya bisa ditinggal kedua orang tuanya. Kenapa pula ayah Doon tidak meneruskan niatnya mencari jalan keluar. Entahlah ini semua bisa jadi tidak penting namun tetap saja dirasakan menganggu.

Satu hal yang menjadi kunci keberhasilan filmnya adalah setting kota Ember yang sangat meyakinkan. Kota Ember yang indah berwarna keemasaan bermandikan cahaya lampu dibangun begitu luas dan menawan. Angkasa bak dipenuhi ratusan bintang (lampu) yang menerangi seluruh penjuru kota. Suasana kota yang terang benderang sangat kontras dengan suasana di areal mesin generator yang penuh dengan pipa-pipa serta lorong-lorong yang gelap. Ruang demi ruang dirancang begitu detil dengan karakternya masing-masing, namun satu kesamaan, mereka semua tampak telah berumur dan tak terawat (kumuh). Setting kota menjadi kunci utama karena hampir seluruh cerita film mengambil tempat disini. Kota Ember adalah inti cerita filmnya. Bukan hal mudah membangun kota artifisial dengan begitu meyakinkan seperti ini.



City of Ember mampu menyajikan sebuah tontonan yang menghibur meskipun nyaris semua lokasi cerita berada dalam studio. Pemain yang menonjol tercatat hanyalah aktris muda, Saoirse Ronan yang bermain sangat baik sebagai Lina Mayfleet. Aktor-aktor kawakan seperti Murray dan Robbins justru bermain biasa dan mudah untuk kita lupakan. Satu hal yang dirasa kurang sepertinya adalah durasi film yang terlalu cepat serta plot pendukung yang terlalu minim. Tak ada pesan moral yang penting. Film ini secara sederhana hanya menggambarkan kegigihan para remaja kota Ember menghadapi segala rintangan untuk mencari kebebasan.

No comments:

Post a Comment