Saturday, April 14, 2018

BAB II

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1. Gereja Katedral Jakarta



Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.

Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta.

Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh.



2.2. Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya

Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar pelakasanaan konservasi bangunan arsitektur cagar budaya mengacu pada rambu - rambu kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang - undangan cagar budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun peraturan - peraturan yang dikeluarkan yang diberlakukan secara regional, misalnya Pemda DKI Jakarta.          
Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu - rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang - undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya;
Pasal 83 yang menyatakan :

1.         Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
· Ciri asli dan muka bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya.
· Ciri asli lanskap budaya dan permukaan tanah situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2.         Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
·Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
·Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
·Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan
·Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

2.3. Tindakan Pelestarian

Terdapat beberapa langkah – langkah dalam melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
    Pelestarian
            Dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
            Dalam Undang - Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
            Jika kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi  dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
            Keterlibatan masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan contoh yang nyata.
            Kesulitan dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa masa lampau.

    Pengembangan
            Pengembangan dalam Undang - Undang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
            Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama - sama dengan museum dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud. Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan           Cagar Budaya sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di pertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat - saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
            Unsur - unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan - kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.

    Pemanfaatan
            Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar - besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar Budaya.


    Zonasi
            Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38).
            Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir  berbagai kepentingan.

            Zonasi terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.



Badi Bastian
21314952
4TB06

Link Download File: KLIK DISINI