BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Gereja Katedral Jakarta
Gereja
Katedral Jakarta (nama
resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat
Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah
sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini
diresmikan pada 1901
dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik
dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung
gereja beberapa abad yang lalu.
Gereja yang sekarang ini
dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius
Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus
Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit
ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan
diberkati pada 21 April
1901 oleh Mgr. Edmundus
Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta.
Katedral yang kita kenal
sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena
Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu
terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang
cerah, Gereja itu pun sempat roboh.
2.2. Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar
Budaya
Bangunan Cagar Budaya adalah
sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai
sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu
(Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar pelakasanaan konservasi bangunan
arsitektur cagar budaya mengacu pada rambu - rambu kebijakan secara nasional dalam
bentuk peraturan perundang - undangan cagar budaya dan peraturan terkait
lainnya, maupun peraturan - peraturan yang dikeluarkan yang diberlakukan secara
regional, misalnya Pemda DKI
Jakarta.
Dalam mempertahankan bangunan cagar
budaya terdapat rambu - rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur
secara peraturan perundang - undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar
budaya;
Pasal 83 yang menyatakan :
1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur
Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan
tetap mempertahankan:
· Ciri asli dan muka
bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya.
· Ciri asli lanskap
budaya dan permukaan tanah situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum
dilakukan adaptasi.
2. Adaptasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
·Mempertahankan nilai-nilai
yang melekat pada cagar budaya;
·Menambah fasilitas sesuai
dengan kebutuhan;
·Mengubah susunan ruang
secara terbatas; dan
·Mempertahankan gaya
arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di
sekitarnya.
2.3. Tindakan Pelestarian
Terdapat beberapa langkah – langkah dalam
melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
•
Pelestarian
Dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan
memanfaatkannya.
Dalam Undang - Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi
untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,
bangunan atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang
bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
Jika kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman
akan sisi bendawi dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya,
pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi
menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter
yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah,
lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan
pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya.
Warisan bukan bendawi, di lain pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam
karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi
dalam segi pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan
dini yang luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian
masyarakat sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan
contoh yang nyata.
Kesulitan dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep
sejarah di dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti
pada BPSNT Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di
dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya
terdapat dalam ingatan orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah
mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila
diungkapkan kembali dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah
atau gambaran tentang peristiwa masa lampau.
•
Pengembangan
Pengembangan dalam Undang - Undang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi
nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama - sama
dengan museum dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari
pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk
menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud.
Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan
Cagar Budaya sebagai contoh
sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan.
Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di pertanggungjawabkan, ternyata
bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat -
saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap
menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi,
misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Unsur - unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau
komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik
dapat menampilkan kegiatan - kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.
•
Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar -
besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU
Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah
mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya
dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat
berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi
dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen
pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan
dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan
ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran
serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan
Cagar Budaya.
•
Zonasi
Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus
mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang
terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott disebutkan bahwa zonasi merupakan
suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol
pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38).
Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada
pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan
yang diatur secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan
utamanya adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan
setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka
zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih
sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun
memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing
mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat
dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar
budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah
aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian
cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat
aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir berbagai kepentingan.
Zonasi terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang
luas untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan
tetap berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun.
Hal ini menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya
meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas
zona harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.
Badi Bastian
21314952
No comments:
Post a Comment