Friday, June 8, 2018

BAB IV

BAB IV
USULAN PELESTARIAN


4.1. Usulan Pelestarian

       Pelestarian secara umum dapat didefinisikan bahwa pelestarian dalam hal ini konservarsi merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan identitasnya guna untuk dilestarikan. Upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation area).

       Gereja Katedral Jakarta ini sangat penting mengingat tempat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kota Jakarta dan perkembangan masuknya agama Katolik  di Indonesia. Amat sangat disayangkan jika Gereja Katedral Jakarta yang memiliki banyak sejarah ini harus dibiarkan terbengkalai begitu saja, oleh karena itu harus diadakan pelestarian agar sisa bangunan Gereja Katredal Jakarta yang masih ada hingga saat ini tidak lenyap.


4.1. Kesimpulan

Gereja Katedral Jakarta yang berdiri kokoh di sebelah utara Lapangan Banteng ternyata menyimpan banyak cerita menarik. Bangunan dengan arsitektur neo-Gotik — yang terletak berseberangan dengan Masjid Istiqlal ini merupakan salah satu gedung cagar budaya paling menawan di Jakarta.

Gereja Katedral Jakarta memiliki sebuah museum yang bisa dikunjungi semua kalangan. Setelah membaca sebuah berita yang menyatakan Museum Katedral Jakarta dinobatkan sebagai museum terbaik di Jakarta untuk kategori pelestarian cagar budaya, saya langsung berkunjung ke museum itu.

Museum Katedral Jakarta berada di balkon ruang utama gereja yang biasa digunakan untuk misa. Lantai balkon itu dahulu digunakan untuk koor gereja, namun kini dimanfaatkan untuk memajang koleksi museum. Dari lantai balkon ini bisa disaksikan ruang utama Katedral Jakarta yang digunakan untuk beribadah.


Badi Bastian
21314952

4TB06

Link Download File : KLIK DISINI

BAB III

BAB III 
GAMBARAN KAWASAN


3.1. Gambaran Kawasan
Gereja ini terletak di Jalan Katedral, Jakarta Pusat. Rumah ibadah ini berdekatan dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Immanuel yang sering kali dilambangkan sebagai toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bangunan ini tidak seperti penampakkan gedung- gedung yang ada di sekitarnya. Gereja Katedral Jakarta memiliki gaya bangunan yang mencirikan bangunan dengan gaya Eropa.

Selain bentuk bangunannya yang terkesan mewah, Gereja Katedral Jakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang, mengingat betapa sulitnya agama Katolik dapat masuk ke Nusantara di zaman koloni Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda adalah negara yang menganut agama Protestan dan kerajaan Belanda tunduk terhadap Gereja Protestan, yang mengakibatkan sulitnya menyebarkan agama lain di Nusantara pada saat itu. Terlebih lagi agama Katolik adalah agama kekaisaran Roma sehingga ditakutkan menimbulkan ancaman bagi Negara Belanda. Maka jadilah Katedral Jakarta sebagai salah satu saksi perjalanan berkembangnya agama Katolik di Indonesia, khusunya kota Jakarta.

3.2. Gaya Bangunan
Jejak-jejak gaya bangunan Eropa dan keindahannya meninggalkan bekas di Jakarta dan masih dapat dilihat bahkan sampai sekarang. Bangunan-bangunan tersebut masih berdiri kokoh setelah ratusan tahun walaupun telah beberapa kali mengalami pemugaran.
Gereja ini terletak di Jalan Katedral, Jakarta Pusat. Rumah ibadah ini berdekatan dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Immanuel yang sering kali dilambangkan sebagai toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bangunan ini tidak seperti penampakkan gedung- gedung yang ada di sekitarnya. Gereja Katedral Jakarta memiliki gaya bangunan yang mencirikan bangunan dengan gaya Eropa.
Selain bentuk bangunannya yang terkesan mewah, Gereja Katedral Jakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang, mengingat betapa sulitnya agama Katolik dapat masuk ke Nusantara di zaman koloni Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda adalah negara yang menganut agama Protestan dan kerajaan Belanda tunduk terhadap Gereja Protestan, yang mengakibatkan sulitnya menyebarkan agama lain di Nusantara pada saat itu. Terlebih lagi agama Katolik adalah agama kekaisaran Roma sehingga ditakutkan menimbulkan ancaman bagi Negara Belanda. Maka jadilah Katedral Jakarta sebagai salah satu saksi perjalanan berkembangnya agama Katolik di Indonesia, khusunya kota Jakarta.
3.3. Masuknya Agama Katolik di Indonesia
Agama Katolik sebenanrya telah hadir jauh sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Agama ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari Potrugis. Namun sejak hadirnya Verenigde Oostindische Compagnie (V.O.C) di Nusantara, agama Katolik dilarang penyebarannya. Umat Katolik juga hampir tidak ada yang mendapatkan jabatan yang tinggi di pemerintahan, dan bahkan gereja-gereja Katolik dilarang melakukan kegiatan ibadah. Hampir seluruh gereja di Nusantara ditutup, kecuali gereja di daerah bagian Nusa Tenggara Timur seperti Flores yang tidak terjangkau oleh V.O.C, yang masih bertahan. (R. Kurris, 2001)
Agama Katolik diijinkan lagi ada di Nusantara akibat gejolak politik di Belanda yang disebabkan oleh adanya Revolusi Perancis. Diawali di Belanda saat mulai dibebaskannya kembali orang-orang Katolik di Belanda untuk beribadah, pengembalian gereja-gereja kuno milik umat Katolik, dan pemberian hak-hak kewarganegaraan yang sama seperti umat Protestan. Maka pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma dengan persetujuan Raja Louis Napoleon, dapat mendirikan Prefektur Apostolik untuk Hindia Belanda dan sebagai Prefek Apostolik pertama diangkat Pastor Nelissen (R. Kurris, 2001).
Pada awalnya penyebaran agama Katolik ini tidak berjalan dengan mudah. Berbagai masalah dialami oleh Pastor Nelissen, seperti masih banyaknya anak yang belum dibaptis atau bahkan banyaknya umat Katolik yang belum pernah menjalankan ibadah secara Katolik. Ibadah pada awalnya dilakukan di tempat yang sederhana, seperti menumpang di rumah salah satu umat, yang kemudian berpindah ke bangunan bambu sebagai sumbangan dari pemerintah dan kemudian menjadi gereja darurat untuk agama Katolik pertama di Jakarta.
Penyebaran agama ini terus mengalami berbagai masalah hingga akhirnya seorang umat Katolik menjadi pejabat di Batavia, Komjend Du Bus de Gisignies. Selama masa jabatnya, Gereja Katolik mendapatkan berbagai kemudahan untuk menjalankan ibadah. Pada masa jabatnya pula, Gereja Katedral Jakarta mendapatkan tempat yang cukup luas untuk menampung umat yang cukup banyak.
Gereja Katedral Jakarta dirancang dengan campuran gaya Barok-Gotik-Klasisisme, dengan jendela yang menggunakan gaya Neogotik, bagian depan yang dibalut dengan gaya Barok-Pilaster, dan gaya klasistis untuk dua menara di bagian kanan dan kiri. Menara Katedral dirancang agak rendah dengan kubah kecil di atasnya, gaya eklektisistis (Sejarah Katedral). Pembangunan ini kemudian berubah karena faktor keuangan yang tidak mencukupi. Bukan hanya itu, Gereja Katedral Jakarta juga mengalami kejadian-kejadian yang membuat dilakukannya renovasi baik sekadar tambal pada bagian dinding atau renovasi besar yang dilakukan karena beberapa kejadian yang menimpa Katedral
Menurut Helen Jessup dalam Sumaryo (1993), pada tahun 1800-an sampai 1902 tepatnya setelah kepergian Inggris dari Nusantara, Belanda memperkuat posisinya dan menegaskan daerah jajahannya dengan membangun gedung-gedung dengan desain yang grandeur (mewah). Gaya bangunan yang digunakan pada tahun 1800-1900-an ini adalah gaya arsitektur neoklasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda pada saat itu.
Pembangunan berbagai gedung dengan tampilan yang mewah ini difungsikan bukan hanya untuk memperindah bangunan terkait, tetapi juga sebagi simbol kemakmuran yang dapat digunakan sebagai propaganda. Sehingga bangunan-bangunan ini dibangun dengan bagian depan yang bagus dan mewah.
Keadaan Hindia-Belanda pada masa jabatan Du Bus de Gisignies (1825-1830) yang berlangsung selama kurang lebih lima tahun, memberikan banyak kebaikkan untuk umat agama Katolik. Pada masanya, umat Katolik mendapatkan tanah yang cukup luas untuk membangun gereja. Lahan ini berada di sisi utara Waterlooplein atau yang sekarang kita kenal dengan nama lapangan Banteng. Maka, di bawah pengawasan langsung Du Bus de Gisignies, Insinyur Tromp ditugaskan untuk merombak sebuah rumah, yang tadinya digunakan oleh panglima angkatan bersenjata, Jendral de Kock, dan mengubahnya menjadi bentuk bangunan yang menyerupai gereja.
De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming, ‘Gereja Santa Maria Naik ke Surga’, menjadi nama yang dipilih ketika bangunan berbentuk salib dengan panjang 35 meter dan lebar 17 meter ini selesai dibangun.

Gereja pertama ini akhirnya dapat menampung banyak orang, walaupun pada kenyataannya gereja ini tidak terlalu bagus. Hasil akhir dari pembangunan tersebut berbeda dengan yang telah Ir. Tromp rancang. Pada awalnya, bangunan gereja secara menyeluruh akan bergaya Barok-Gotik-Klasisisme. Ruang altar dibuat setengah lingkaran dan dalam ruang utama yang panjang dan di pasang enam tiang
3.4. Gaya Bangunan Katedral
Gaya bangunan itu sendiri dimulai pada masa klasik kuno yang dimulai dengan pada sekitar 600 tahun sebelum Masehi yang kemudian terus berkembang hingga sekarang ini. Gedung-gedung yang kita lihat sekarang ini adalah gedung yang dirancang dengan berbagai gaya. Seperti Gereja Katedral Jakarta yang pembangunan gedungnya telah menggunakan berbagai gaya dari berbagai masa hingga akhirnya masih berdiri tegak sampai sekarang. Gaya bangunan yang digunakan selama gereja ini berdiri seperiti Barok, Gotik, Klasisisme, Neogotik, dan Ekletisitis.
Barok adalah gaya yang berkembang di Roma pada tahun 1600 (Architecture of the western world, 1980). Gaya bangunan barok dianggap sebagai gaya bangunan yang merepresentasikan Gouden Eeuw atau abad keemasan yang sesungguhnya karena jika dilihat dari bentuk bangunannya, gaya ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangunnya, karena pada masa kemunculan aliran ini, gaya bangunan dinilai sebagai sebuah alat propaganda untuk menunjukkan sebuah kemakmuran. Maka dari itu, bangunan-bangunan didesain sebagus dan semewah mungkin. Salah satu bangunan di Belanda yanng menggunakan gaya Barok adalah istana yang berada di Amsterdam yang bagian depannya memiliki ukiran-ukiran pahatan di bagian atasnya. Di atas bangunan, ada sebuah menara dengan bentuk kubah yang juga terdapat patung dan jam serta ukiran yang sangat sesuai dengan ornamen Barok.
Barok sendiri berasal dari kata Barocco yang berarti mutiara alam dengan warna yang luar biasa dan dengan bentuk yang fantastis. Bentuk bangunan dengan gaya Barok ini bangunannya biasanya memiliki ornamen yang cukup ramai. Gaya Barok terutama pada bangunan Katolik Roma merepresentasikan kebahagian dengan gaya baru lewat lukisan dan pahatan. Gaya ini sendiri sebenarnya di Belanda tidak terlalu dibicarakan, berbeda dengan di selatan Italia, tempat asal gaya ini muncul.
Seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.4 terlihat bahwa ciri yang paling menonjol dari gaya Barok adalah penggunaaan banyak ornamen yang dikombinasikan dari ornamen lukis dan pahatan. Setiap sisi bangunan dibuat penuh dengan ornamen, bagian langit-langit berbentuk melengkung seperti setengah lingkaran. Jelas gaya ini sangat mencirikan bangunan Eropa dengan seni tinggi, yang diimplementasikan lewat lukisan dan pahatan pada setiap sisinya. Pahatan dan lukisan ini biasanya bergambar malaikat atau langit yang merepresentasikan gambaran kesurgaan.
Gotik sendiri adalah gaya yang muncul setelah kejatuhan kekaisaran Romawi. Gaya ini sendiri masuk ke Belanda dari Perancis pada abad ke-12. Kebangkitan gaya Gotik ini ada pada abad 18-19 yang terinspirasi dari desain-desain klasik. Gotik adalah gaya yang umumnya digunakan pada bangunan-bangunan seperti Katedral. Bentuk penampakkan bangunan ini dibuat menjulang dan sangat tinggi dengan bentuk atap yang meruncing. Bangunan yang semakin tinggi dianggap semakin dekat dengan langit yang berarti semakin dekat dengan surga. Selain itu juga bangunan gotik biasanya dibangun dengan bukaan yang lebar, yang dimaksudkan agar banyak cahaya yang masuk dari luar ke dalam bangunan. Ini semua adalah implementasi dari ‘Drang naar verticaliteit en naar licht’.
Klasikisme adalah aliran yang muncul pada sekitar abad ke-17 yang berciri somberheid atau kesuraman. Jendela yang dirancang oleh Ir. Tromp saat itu seharusnya bergaya Neogotik. Sesuai dengan gayanya, jendela seharusnya akan terlihat begitu besar dengan menggunakan banyak kaca patri yang indah. Sedangkan bagian depan sendiri adalah percampuran dari gaya Barok dan Pilaster. Gaya barok yang menggunakan banyak ornamen dan berbentuk setengah lingkaran di bagian atasnya ini akan digabungkan dengan banyaknya pilar- pilar di bagian depannya. Bangunan ini juga memiliki dua bangunan pendamping di sebelah kanan dan kirinya yang dirancang dengan gaya klasisistis.
Sedangkan sentuhan gaya eklektisistis (gaya campuran) yang muncul pada abad ke-19. Aliran berasal dari kata Ekklesia yang memiliki konsep pemujaan dengan Tuhan, sehingga penerapannya pada gereja diletakkan pada bagian menara yang paling tinggi di gereja, walaupun kemudian menara gereja ini dirancang tidak terlalu tinggi. Neogotik sendiri adalah gaya bangunan adalah gaya bangunan yang berpatokan pada gaya Gotik yang kemudian berkembang dan ditambahkan sentuhan garis lengkung pada gaya bangunannya.
Setelah bangunan ini akhirnya berdiri pada tanggal 6 November 1829, bentuknya tidak sesuai dengan rancangan awal Ir. Tromp. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dana yang dimiliki gereja saat itu. Pembangunan gereja Katolik memang tidak semudah membangun gereja untuk umat Protestan. Hal ini karena umat Katolik tidak medapatkan pasokan dana dari pemerintah, seperti agama Protestan yang adalah agama negara. Pembangunan gereja ini sebenarnya tidak begitu mengecewakan jika dibandingkan dengan gereja sebelumnya, perombakkan gedung ini tidak terlalu buruk. Dan semenjak gedung gereja yang baru dibangun, warga yang berdatangan untuk beribadah semakin ramai dan bertambah setiap minggunya.
Perubahan rencana ini disebabkan oleh banyak faktor. Melihat gaya bangunan yang dipilih, seperti Barok yang penuh ornamen dan kemewahan yang harus dipahat dan dilukis, serta kaca-kaca patri yang harus digunakan untuk menunjang gaya neo-gotik pada jendela, jelas salah satu alasan terjadinya perubahan rancangan penampakkan gedung adalah masalah pembiayaan atau kurangnya dana untuk membangun gereja. Mengingat penyebaran agama Katolik sebenarnya tidak begitu didukung oleh pemerintah Belanda pada masa itu. Bukan hanya masalah dana, arsitektur klasik sebenarnya memang sulit diterapkan di Hindia-Belanda. Arsitektur klasik ini berkembang di Eropa dengan iklim dan penampakkan geografisnya yang jauh berbeda dengan iklim dan penampakkan geografis di Hindia-Belanda.
pembangunan yang tidak sesuai dengan rancangan awal. Hanya terlihat bahwa gedung gereja dibangun memanjang dengan sebuat menara di atas di pertengahan bangunan. Bagian atas di bangun melengkung seperti kubah dan jendela dibangun dengan gaya Neogotik, terlihat dari penggunaan garis-garis lurus namun bagian atasnya sedikit melengkung. Banyaknya jendela di sepanjang sisi gereja membuat banyaknya cahaya bisa masuk ke dalam gereja.
Sangat disayangkan, tidak lama setelah pembangunan, banyak bagian gereja yang mengalami kerusakan. Kerusakan-kerusakan ini seperti kebocoran yang terjadi di mana-mana dan berkali-kali dalam interval waktu yang cukup sering, yang sebenarnya tidak diperbaiki secara menyeluruh. Perbaikan kecil hanya dilakukan pada bagian-bagian yang terlihat rusak tanpa mencari penyebab kerusakan tersebut, sehingga selalu saja kerusakan baru yang terjadi setelah dilakukan perbaikan pada bagian-bagian yang rusak.
Pemugaran yang terjadi pada setiap terjadinya kerusakan yang ada pada bangunan gereja sepertinya memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap bangunan gereja. Gambar 1.5 dan 1.6 yang memperlihat dua bangunan gereja. Menara yang pada gambar 1.5 memperlihatkan menara gereja berada di tengah atas gedung, di gambar 1.6 menara gereja berada di bagian depan dengan dua menara kecil di sebelah kanan dan kirinya. Bentuk dari menara juga berubah dari yang sebelumnya berbentuk kubah, setengah lingkaran seperti gaya Barok, pada gambar 1.6 menara berbentuk Gotik yang lurus menjulang ke atas dan berujung meruncing. Tapi detil dari menara tersebut terlihat memiliki detil dengan sentuhan Barok yang identik dengan ukiran yang tidak sederhana.


Badi Bastian
21314952
4TB06

Link Download File : KLIK DISINI


Saturday, April 14, 2018

BAB II

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1. Gereja Katedral Jakarta



Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.

Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta.

Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh.



2.2. Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya

Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar pelakasanaan konservasi bangunan arsitektur cagar budaya mengacu pada rambu - rambu kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang - undangan cagar budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun peraturan - peraturan yang dikeluarkan yang diberlakukan secara regional, misalnya Pemda DKI Jakarta.          
Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu - rambu dan kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang - undangan. Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya;
Pasal 83 yang menyatakan :

1.         Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
· Ciri asli dan muka bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya.
· Ciri asli lanskap budaya dan permukaan tanah situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2.         Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
·Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
·Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
·Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan
·Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

2.3. Tindakan Pelestarian

Terdapat beberapa langkah – langkah dalam melestarikan Bangunan Cagar Budaya yaitu :
    Pelestarian
            Dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
            Dalam Undang - Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
            Jika kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi  dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan - tindakan pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain pihak membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
            Keterlibatan masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya merupakan contoh yang nyata.
            Kesulitan dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan orang - orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa masa lampau.

    Pengembangan
            Pengembangan dalam Undang - Undang Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
            Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama - sama dengan museum dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud. Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan           Cagar Budaya sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat di pertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat - saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai - nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
            Unsur - unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan - kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.

    Pemanfaatan
            Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar - besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar Budaya.


    Zonasi
            Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott, 1989:38).
            Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing - masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir  berbagai kepentingan.

            Zonasi terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.



Badi Bastian
21314952
4TB06

Link Download File: KLIK DISINI